Senin, 08 Agustus 2016

TEKNOLOGI INFORMASI


Teknologi Informasi dan Komunikasi, adalah payung besar terminologi yang mencakup seluruh peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. TIK mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya. Oleh karena itu, teknologi informasi dan teknologi komunikasi adalah dua buah konsep yang tidak terpisahkan. Jadi Teknologi Informasi dan Komunikasi mengandung pengertian luas yaitu segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, pemindahan informasi antar media.Istilah TIK muncul setelah adanya perpaduan antara teknologi komputer (baik perangkat keras maupun perangkat lunak) dengan teknologi komunikasi pada pertengahan abad ke-20. Perpaduan kedua teknologi tersebut berkembang pesat melampaui bidang teknologi lainnya. Hingga awal abad ke-21, TIK masih terus mengalami berbagai perubahan dan belum terlihat titik jenuhnya.

Sejarah

Ada beberapa tonggak perkembangan teknologi yang secara nyata memberi sumbangan terhadap perkembangan TIK hingga saat ini. Pertama yaitu temuan telepon oleh Alexander Graham Bell pada tahun 1875. Temuan ini kemudian berkembang menjadi pengadaan jaringan komunikasi dengan kabel yang meliputi seluruh daratan Amerika, bahkan kemudian diikuti pemasangan kabel komunikasi trans-atlantik. Jaringan telepon ini merupakan infrastruktur masif pertama yang dibangun manusia untuk komunikasi global.
Memasuki abad ke-20, tepatnya antara tahun 1910-1920, terwujud sebuah transmisi suara tanpa kabel melalui siaran radio AM yang pertama. Komunikasi suara tanpa kabel ini pun segera berkembang pesat. Kemudian diikuti pula oleh transmisi audio-visual tanpa kabel, yang berwujud siaran televisi pada tahun 1940-an.
Komputer elektronik pertama beroperasi pada tahun 1943. Lalu diikuti oleh tahapan miniaturisasi komponen elektronik melalui penemuan transistor pada tahun 1947 dan rangkaian terpadu (integrated electronics) pada tahun 1957.
Perkembangan teknologi elektronika, yang merupakan cikal bakal TIK saat ini, mendapatkan momen emasnya pada era Perang Dingin. Persaingan IPTEK antara blok Barat (Amerika Serikat) dan blok Timur (dulu Uni Soviet) justru memacu perkembangan teknologi elektronika lewat upaya miniaturisasi rangkaian elektronik untuk pengendali pesawat ruang angkasa maupun mesin-mesin perang. Miniaturisasi komponen elektronik, melalui penciptaan rangkaian terpadu, pada puncaknya melahirkan mikroprosesor. Mikroprosesor inilah yang menjadi 'otak' perangkat keras komputer dan terus berevolusi sampai saat ini. Perangkat telekomunikasi berkembang pesat saat teknologi digital mulai digunakan menggantikan teknologi analog. Teknologi analog mulai terasa menampakkan batas-batas maksimal pengeksplorasiannya. Digitalisasi perangkat telekomunikasi kemudian berkonvergensi dengan perangkat komputer yang sejak awal merupakan perangkat yang mengadopsi teknologi digital. Produk hasil konvergensi inilah yang saat ini muncul dalam bentuk telepon seluler. Di atas infrastruktur telekomunikasi dan komputasi ini kandungan isi (content) berupa multimedia mendapatkan tempat yang tepat untuk berkembang. Konvergensi telekomunikasi - komputasi multimedia inilah yang menjadi ciri abad ke-21, sebagaimana abad ke-18 dicirikan oleh revolusi industri. Bila revolusi industri menjadikan mesin-mesin sebagai pengganti 'otot' manusia, maka revolusi digital (karena konvergensi telekomunikasi - komputasi multimedia terjadi melalui implementasi teknologi digital) menciptakan mesin-mesin yang mengganti (atau setidaknya meningkatkan kemampuan) 'otak' manusia.

Minggu, 07 Agustus 2016

EKOLOGI vs. EKONOMI



Kakek tua itu muncul dari balik pepohonan. Kulitnya yang legam dan penuh keriput dialiri peluh bercuuran. Dengan susah payah dan nafas yang tersenggal-senggal, tubuh yang kurus itu berusaha mengendalikan sepeda tuanya. Di boncengan sepeda terlihat setumpuk kayu bakar setinggi kira-kira 1meter. Dan wajah tua itupun langsung pucat melihat petugas hutan yang sudah berdiri di depannya.
"Nyari dimana, pak?", tanya petugas.
"Di Sambi Karep, pak. Buat masak di dapur..." jawabnya dengan logat Madura yang kental dan suara takut-takut sambil mengatur nafas. Petugas pun memeriksa tumpukan kayu bakar itu dan tidak menemukan kapak, diameter kayu bakarnya pun kecil-kecil.
"Kalo ngambil secukupnya pak...jangan sering-sering. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, jangan dijual. Bapak ambil ranting-ranting yang jatuh saja, jangan nebang pohon ya..! Ya sudah, silahkan jalan pak!", jelas petugas dalam bahasa Madura.
"Enggih pak. Kaso'on" Si kakek mengangguk-angguk dan segera melanjutkan perjalanan.

Begitulah sepenggal kejadian disuatu blok di TN Baluran. Dilema. Satu kata yang mewakili seluruh sisituasi yang acapkali terjadi saat petugas berpatroli. Kondisi masyarakat sekitar yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan membuat hutan dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya mengalami banyak tekanan.

Secara umum tujuan pengembangan taman nasional untuk kepentingan perlindungan dan peestarian alam, penelitian, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi. Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan adanya aktivitas pengambilan hasil hutan non kayu yang masih cukup tinggi khususnya oleh masyarakat sekitar.

Berdasarkan hasil kongres Taman Nasional se-Dunia pada tahun 2003, bahwa pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan konservasi. Masyarakat tersebut akan termotivasi dan berperan serta untuk kepentingan pengelolaan kawasan dalam jangka panjang. Hal ini akan berimplikasi terbukanya akses bagi masyarakat terhadap pemanfaatan potensi hasil hutan non kayu yang terdapat dalam kawasan secara berkesinambungan.

Keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat sekitar. Di tempat dimana kawasan dilindungi dipandang sebagai penghalang, penduduk setempat dapat menggagalkan pelestarian. Namun bila pelestarian dianggap sebagai suatu yang positif manfaatnya, penduduk setempat sendiri yang akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan tersebut.

Di Indonesia, setiap kawasan konservasi yang berbatasan dengan pemukiman hampir selalu mendapat tekanan dari masyarakat, baik berupa pemukiman di dalam kawasan maupun pemanfaatan potensinya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan HHNK (Hasil Hutan Non Kayu) didominasi oleh pemanfaat yang berusia 28-55 tahun atau dari kelompok umur produktif. Hal itu disinyalir akibat terbatasnya lapangan pekerjaan yang mampu memberikan pendapatan memadai sehingga mencari HHNK di kawasan hutan yang mampu memberikan tambahan pendapatan. Dengan mata pencaharian yang mayoritas sebagai buruh tani dan petani. Mata pencaharian yang terbatas tersebut antara lain diakibatkan oleh rendahnya tingkat pendidikan. Pendidikan yang rendah juga menyebabkan pendapatan yang rendah dikarenakan ketidakmampuan masyarakat berpendidikan rendah untuk menganalisa dan memanfaatkan informasi yang berkaitan dengan peluang-peluang untuk memperoleh serta meningkatkan penghasilan. Sebagai contoh pemanfaatan hasil hutan TN Baluran yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, sebagian besar dinilai berdasarka harga pasar atau transaksi setempat. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kontribusi hutan TN Baluran dalam menyangga perekonomian masyarakat sekitar tidaklah kecil. Lalu, bagaimana dengan sumber air, jasa lingkunga, wisata alam serta aspek-aspek lain yang seringkali diabaikan tetapi sebenarnya sangat menentukan kualitas hidup masyarakat sekitar seperti pengatur iklim mikro, sistem hidrologi, pencegah banjir dan tanah longsor? Ekonomi vs Ekologi. Kemakmuran sesaat vs bencana. Semoga kita tidak menjadi masyarakat materialistis yang hanya melihat sesuatu dari segi ekonomisnya saja, namun juga dari segi ekologi, karena hal itu yang akan lebih menjamin kelangsungan hidup kita dalam jangka panjang.

Tibaning Wahyu Gusti, "Sebuah Pertemuan Antara Budaya Dan Lingkungan Demi Kehidupan Manusia"


Masyarakat adat Cungking yang masih eksis di Bumi Prabu Minak Jinggo (Banyuwangi) sampai sekarang adalah masyarakat pribumi yang sangat menjunjung tinggi dan mempercayai kebesaran leluhurnya (Mbah Cungking). Hal inilah yang menjadikan mereka lebih senang disebut sebagai masyarakat Cungking. Mbah Cungking dikenal sebagai sosok yang mempunyai keistimewahan dan penuh dengan tirakat untuk mendapatkan kekuatan yang luar biasa. Mbah Cungking sudah dikenal menyerupai orang yang dekat dengan Tuhan atau seperti wali (islam) pada masa silam. Sehingga meskipun sang wali telah tiada namun penghargaan dari masyarakat tidak pudar termakan zaman.

Bentuk rasa hormat dan penghargaan masyarakat Cungking kepada sang wali digambarkan pada setiap bulan Syura atau Muharam yaitu dengan selamatan. Acara ritual ini sudah menjadi rutinitas tahunan masyarakat adat Cungking sejak dulu. Dapat dipastikan setiap awal bulan Syura akan diadakan acara ritual berupa Larung sesaji ke laut, Ruwatan, Selamatan dan terkadang Acara Wayang. Untuk acara wayang sangat jarang diadakan oleh masyarakat Cungking.

Baluran (Baluran berasal dari kata Mbah Lurah yang artinya sesepuh yang paling tua). Akhirnya para sesepuh yang mendapat wangsit itu sepakat akan mengadakan ruwatan dalam bentuk wayang ringgit di Baluran. Tidak hanya sesepuh dari masyarakat Cungking khususnya Bakungan saja yang mendapat wangsit seperti itu, ternyata para pelaku kebatinan di luar Banyuwangi pun mendapatkannya. Pelaksanaan ruwatan tersebut harus dilakukan pada malam tahun baru. Sehingga tidak heran jika pada acara ini dihadiri puluhan orang-orang ahli kebatinan dari luar kota seperti Malang, Kediri, Blitar, Tulungagung, Sidoarjo dan Jakarta.

Acara ruwatan sendiri pada dasarnya bertujuan untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar dibebaskan dari segala macam bencana yang akan menimpa dan gangguan makhluk ghaib. Sehingga mereka berharapa mendapatkan keselamatan dan dapat hidup damai sejahtera. Ruwatan pada kali ini dilakukan dengan menggelar wayang ringgit yang mengambil cerita "Tibaning Wahyu Gusti" atau yang artinya turunnya wahyu atau petunjuk dari Yang Maha Kuasa kepada umat manusia agar lebih ramah dan santun terhadap alam ini.

Dua kekuatan yang mustahil lepas atau dilepaskan dari kehidupan manusia di bumi. Dan sudah sewaktunya kedua kekuatan besar itu bersatu untuk kesejahteraan dan kedamaian manusia di bumi. Setiap detik sepertinya tak rela penonton tinggalkan cerita itu, alur cerita yang diangkat semakin lama semakin seru. tampaknya masyarakat sekitar yang menonton benar-benar puas dengan isi cerita wayang tersebut. Mereka akan paham bahwa betapa pentingnya kepedulian manusia kepada alam sekitar. Kita manusia hidup berdampingan dengan alam, maka sudah sepatutnya bila harus menjaga dengan sebaik-baiknya alam sekitar. Harapan kita kepada Yang Maha Kuasa adalah kita bisa hidup damai, sejahtera, makmur di muka bumi ini dan terhindar dari segala macam banana dan musibah.

Seperti itulah kisah masyarakat Cungking dan acara adat ruwatan Wayang Ringgit. Banyak hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan ini. Setiap leluhur kita adalah orang-orang bijak yang banyak menyimpan ilmu dan nilai-nilai kehidupan. Maka kita harus benar-benar meghormati dan menjunjung tinggi nilai kebaiakn yang mereka tanamkan.

Sabtu, 06 Agustus 2016

PETIK LAUT, LESTARIKAN TRADISI LELUHUR


Sebuah perahu kecil, yang oleh masyarakat nelayan disebut "Gitik" dengan panjang kurang lebih 4 meter, diletakkan di depan tempat akan dibukanya tradisi adat petik laut masyarakat nelayang Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Pesanggaran Kab. Banyuwangi.

Perahu kecil tersebut dihiasi bendera kecil warna-warni, sedangkan di dalamnya berisi sesai dan berbagai hasil yang nantinya akan disematkan pancing dan peniti emas.

Ketua panitia tradisi petik laut Pancer dalam sambutannya menyampaikan, tujuan dari tradisi adat petik laut yang diadakan rutin setiah tahun adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Tuhan yang telah memberi limpahan rejeki yang berupa tangkapan ikan yang melimpah. Selain itu juga sebagai media permohoan, agar dalam melakukan aktifitas ditengah laut mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari Yang Maha Pencipta.

Ribuan warga berdiri di sepanjang jalan mengamati perjalanan sesaji ( ider bumi ). Begitu lewat, warga berhamburan mengikuti di belakang menuju pantai. Arak-arakan berakhir di tempat pelelangan ikan ( TPI ), yang dihadiri jajaran Muspida Banyuwangi dan pejabat setempat.

Sesaji tiba disambut enam penari Gandrung. Setelah doa, sesaji diarak menuju perahu. Warga berebut untuk bisa naik perahu pengangkut sesaji. Namun, petugas membatasi penumpang yang ikut ke tengah.
Menjelang tengah hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bunyi mesin diesel menderu membelah ombak. Suara gemuruh lewat sound-system menggema di tiap perahu.

Dari kejauhan barisan perahu berukuran besar bergerak kencang. Hiasan umbul-umbul berkibar menambah suasana makin sakral. Begitu padatnya perahu yang bergerak, sempat terjadi beberapa kali tabrakan kecil.

Iring-iringan berakhir di sebuah lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Kawasan ini sering disebut Plawangan. Seluruh perahu berhenti sejenak. Dipimpin sesepuh nelayan, sesaji pelan-pelan diturunkan dari perahu. Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak.

Begitu sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. "Kami percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti," kata Mat Roji, sesepuh nelayan Muncar.

Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan. Di tempat ini, nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya. Hanya, jumlahnya lebih sedikit. Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan. Konon ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.

Selesai larung sesaji, pesta nelayan dilanjutkan di pantai  Sembulungan. , ke Makam Sayid Yusuf, beliau adalah orang pertama yang membuka daerah tersebut. Disinilah biasanya tari Gandrung dan gending-gending klasik suku Using di pentaskan, hingga sore hari. Di tempat ini para nelayan juga mempersembahkan sesaji. Ritual diakhiri selamatan dan doa bersama.

Ritual petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan. Konon, ini berkaitan ritual petik laut pertama kali di Tanjung Sembulungan. Kala itu, seorang penari Gandrung mendadak meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai. Sejak itu, petik laut wajib menghadirkan penari Gandrung. Memilih penari Gandrung yang berani ikut ke tengah laut dan mendampingi sesaji tidak gampang dan melalui seleksi khusus. Gandrung yang ikut mengarak sesaji hanya boleh sekali diundang. Tahun berikutnya akan diganti Gandrung lain.

Di sepanjang perjalanan, di atas perahu penari terus melenggang diiringi gamelan. Mereka melantunkan gending-gending Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan petik laut. Puluhan nelayan yang mengiringi gandrung ikut menari di atas perahu.
Biasanya sepulang pulang dari sembulungan perahu nelayan yang akan mendarat di guyur dengan air laut yang di gambarkan sebagai guyuran Shang Hyang Iwak, sebagai Dewi laut.

BALURAN, LABORATORIUM ALAM YANG MENGESANKAN


Sebagai salah satu dari 4 (empat) taman nasional yang ada di Provinsi Jawa Timur, keberadaan Taman Nasional Baluran sudah banyak di dengar oleh masyarakat. mulai dari kalangan masyarakat umum, instansi dan dinas serta tidak ketinggalan pula dari kalangan pendidikan. Hampir sebagian besar masyarakat yang datang ke Baluran bertujuan untuk menikmati indahnya pemandangan di sini. Bahkan wisatawan dari mancanegara pun sering berkunjung. Taman Nasional Baluran disamping berfungsi sebagai kawasan lindung juga merupakan wahana pendidikan dan penelitian serta merupakan laboratorium alam bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan.

Para ahli bioekologi dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu telah banyak memanfaatkan potensi kawasan sebagai objek penelitian mereka. Hal ini menjadi bukti nyata peran serta Taman Nasional Baluran dalam mennunjang pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak kegiatan dari sekolah maupun universitas di sebagian besar Provinsi Jawa Timur dilakukan di Baluran.

Kebanyakan kegiatan-kegiatan tersebut telah menjadi ajang tahunan dan rutin. Hal ini menunjukkan telah terdapat kepercayaan dari pihak sekolah kepada TN Baluran. Salah satu contoh sekolah yang mempunyai agenda tahunan untuk kegiatan field camp adalah SMU Ciputra-Surabaya. Sekolah berstandar internasional terbaik di Indonesia ini telah menaruh perhatian tersendiri kepada Baluran.

Dilihat dari data kunjungan wisata pendidikan di TN Baluran 2 tahun terkahir ini dapat diambil rata-rata kunjungan bisa menapai 300 siswa setiap bulannya. Besarnya angka tersebut enunjukkan bahwa TN Baluran banyak diminati oleh kalangan siswa untuk dijadikan sebagai tempat pembelajaran lapang yang efektif. Sehingga dapat dikatakan bahwa TN Baluran sudah menjadi bagian dari pendidikan. Salah satu contoh yaitu kegiatan observasi lapang dan praktek kerja lapang. Hampir setiap bulan siswa dari berbagai SMU di Kab. Situbondo dan sekitarnya ada yang melakukan kegiatan observasi.

Untuk tingkat mahasiswa, TN Baluran setia tahun menjadi tuan rumah dari UGM, IPB, UNAIR, STP, dll. Hadirnya sebuah laboratorium alam TN Baluran akan membuat dunia pendidikan khususnya di Jawa Timur dan Indonesia pada umunya semakin berwarna. Banyak hal yang bisa digali dan dikaji dari kehidupan alam liar.

ZONA SEORANG PETUALANG


Seperti hobi atau olah raga lain, bertualang ke alam bebas adalah pilihan. Ketertarikan terhadapnya atau keterlibatan di dalamnya merupakan  sebuah subjektifitas yang sangat personal. Kita tentu tidak bisa memaksa seseorang untuk menyukai atau tidak menyukai petualangan, seperti kita tidak bisa memaksa seseorang untuk menyukai atau tidak menyukai seporsi makanan di restauran. Tapi, sesimpel itukah masalahnya?
Oleh banyak orang, korelasi antara manfaat nyata dengan resiko dari kegiatan ini kerap dianggap tidak berbanding lurus. Pilihan seseorang untuk pergi bertualang ke alam bebas seperti tebing, gunung, gua bawah tanah, sungai, laut atau angkasa, seringkali mendapat penentangan bahkan “vonis mati” dari orang-orang di sekitarnya.

Dari beberapa diskusi berkepanjangan yang terjadi dalam hal ini, saya dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya bukan faktor potensi bahaya yang paling “mengganggu” bagi masyarakat awam, melainkan lebih kepada tidak adanya “imbalan langsung” yang dapat diperoleh dari setiap kegiatan ini. Petualangan dianggap bukan sebuah industri olah raga laiknya sepak bola yang notabene dapat menghasilkan duit banyak. Sebaliknya, para pelakunya justru harus mengeluarkan uang banyak untuk melakukan kegiatannya.

Selain itu, faktor “investasi jangka panjang” juga menjadi alasan lain timbulnya kontra versi pendapat. Tidak seperti kursus computer atau bahasa inggris yang punya saluran bagus ke muara profesi di kantoran, petualangan dianggap sebagai “kursus”yang buang-buang uang dan waktu berharga saja. Jadi, semacam investasi yang tidak lolos criteria dalam studi kelayakan bisnis. Setelah merayap di tebing lalu mau kemana? Setelah mengarungi jeram di sungai, lantas mau menjadi apa?

Dua alasan di atas ternyata cukup efektif membunuh minat seseorang yang mulai tertarik atau bahkan telah masuk ke dunia petualangan.

Kendati begitu, kegiatan petualangan di alam bebas justru semakin menjamur di Nusantara. Sebut saja ekspedisi Seven Summits, ekspedisi Leuser, dan masih banyak lagi. Lantas, apa yang mendorong para petualang menggeluti dunia ini, hingga mereka cuek saja terhadap pandangan orang-orang awam? mungkin hobi berpetualang itu pada awalnya berasal dari rasa iseng belaka, ikut-ikutan dan sekedar pemuas rasa ingin tahu mereka. Namun apapun awal perkenalan dengan dunia petualang, yang jelas sebagian besar dari mereka langsung ketagihan. seperti seolah-olah alam bebas adalah magnet yang terus menarik mereka untuk berpetualang kembali.

Pada mulanya mereka memang mendapat kepuasan setelah menjawab tantangan dan menikmati panorama alam bebas. Tetapi dari pengalaman inilah nantinya secara perlahan lahan mereka mendapat sesuatu yang lebih. Bukan lagi sekedar kepuasan mencapai puncak ketinggian. Melainkan sifat-sifat positif yang secara perlahan akan terbentuk.

Sifat-sifat tersebut misalnya, berani mengambil keputusan. Dalam situasi yang kritis, dalam sebuah rombongan, apalagi kita bertindak sebagai ketua rombongan maka harus sepatutnya kita dituntut untuk secepat mungkin mengambil keputusan. Dan yang pasti keputusan tersebut tidak membahayakan rombongan anggota.

Perselisihan bukanlah barang asing dalam dunia petualangan. Yang muncul akibat kondisi mental dan phisik yang sudah letih, sehingga kita mudah sekali tersinggung. Tapi karena kondisi alam bebas yang menuntut kerjasama, para petualang tidak bisa mengumbar emosinya begitu saja. Sedikit demi sedikit emosi pun dapat dikendalikan, sehingga tidak tertutup kemungkinan perselisihan terlupakan.
Begitu juga dengan sifat cermat membuat perhitungan dan tidak mudah mengeluh. Kondisi alam bebas yang sulit diduga menuntut persiapan dan perhitungan yang matang, kalaupun ada yang meleset harus kita hadapi dengan pikiran dingin dan lapang dada tanpa saling menyalahkan. Di tengah hutan kita akan mengeluh kepada siapa, toh yang kita keluhi pun dalam kondisi yang sama, malah – malah keluhan kita bisa mengendorkan mentalitas rekan lainnya.


Dalam melakukan aktivitas ini kita dituntut untuk selalu jujur, misal suatu ketika kita melakukan pendakian seorang diri dan tidak mencapai puncak. Bisa saja kita bilang sampai dipuncak, toh tak ada saksi yang akan menyanggahnya, disinilah kita harus jujur, karena pengalaman yang terjadi mungkin berguna bagi teman – teman yang lain. Bila kita sudah mencapai tahap ini, puncak bukan lagi menjadi sasaran utama. Begitu pula dengan kebanggaan yang dulu sampai – sampai bisa menyesakkan dada karena berhasil menaklukkan sebuah puncak, perlahan akan hilang. Karena yang lebih esensi dalam tahap ini adalah bagaimana kita mendapatkan tantangan baru dan bagaimana memecahkannya.

Juga mengurangi nafsu merusak seperti corat – coret, memetik Edelweis dan membuang sampah sembarangan sudah lama mereka tinggalkan. Karena motto “Jangan ambil sesuatu kecuali photo dan jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak“ sudah melekat pada diri mereka. Tetapi semua ini adalah proses yang harus dilalui oleh semua orang untuk menjadi pecinta alam sejati.
Untuk menjadi seorang petualang yang baik kita harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup, peralatan dan perbekalan yang memadai, mental dan phisik yang baik serta daya juang yang tinggi. Tanpa itu jangan harap kita bisa selamat dalam melaksanakan aktivitas petualangan, sedangkan mereka yang telah cukup memiliki segala sesuatunya pun terkadang tidak luput dari resiko berat aktivitas outdoor sport ini.

Semua aktivitas yang dilakukan manusia mempunyai resiko, begitu pula dengan aktivitas petualangan di alam bebas. Ibaratkan seorang pelaut yang harus meninggalkan keluarganya berbulan – bulan, itu adalah resiko dari profesi keahlian yang digelutinya.

Filosofi Pendakian Gunung adalah gambaran nyata bagi para pecinta pendakian gunung tentang hal – hal dalam diri yang sering mengatasnamakan para petualang. Pada masa kini, mendaki gunung adalah kegiatan yang bisa dilakukan secara acak hanya untuk mengisi waktu luang ataupun hanya sekedar ingin disebut Pecinta Alam. Dan disinilah Filosofi Pendakian Gunung terbentuk.

Jika kau ingin tahu lebih jelas mengenai sifat asli orang – orang dekatmu atau sifat asli dirimu sendiri, ajaklah mendaki gunung. Di atas sana, kau akan menemukan bahwa kau tidak bisa menyembunyikan karakter aslimu. Kau akan menjadi dirimu sendiri, sepenuhnya.
Jika egois, maka di atas sana kau akan egois. Jika penakut, maka di atas sana kau pun akan banyak diam. Jika kau pengeluh, maka kau tidak akan berhenti mengeluh sepanjang perjalanan. Dari situlah kita akan semakin tahu kekurangan dan kelebihan diri masing – masing, dan kemudian kita bisa saling introspeksi diri.

Benar sekali, mendaki gunung tak jauh berbeda dengan kehidupan. Terkadang kita melewati tanjakan yang terjal, hingga kita hampir menyerah, terkadang juga kita menyusuri jalanan di tepi jurang, harus hati – hati melangkah karena jika tidak, kita bisa terpeleset. Ketika terpeleset mampukah kita melanjutkan perjalanan, atau memilih mundur dan turun untuk selanjutnya pulang?
Terkadang melewati turunan yang curam, terkadang hanya padang ilalang datar ratusan meter. Terkadang harus berhenti untuk melepas lelah setelah perjalanan panjang.
Seperti halnya hidup, ketika menempuh perjalanan kita banyak mengeluh karena lelah atau menikmati saja pemandangan sekitar. Itu adalah pilihan. Dengan jalur yang sama, beban yang sama, sikap pendaki satu dengan yang lain tentu akan berbeda. Beratnya beban di punggung adalah bekal kita. Tidak murah memang segala bekal kita namun sangat sepadan dengan apa yang akan kita nikmati selama mendaki gunung.

Sesekali kita membutuhkan orang lain untuk berpegangan ketika melewati titian. Terkadang kita harus mempercayakan nyawa kita kepada teman kita ketika kita perlu memanjat bagian gunung berupa tebing yang curam. Sesekali kita membutuhkan teman kita untuk memasang tenda. Sesekali kita membantu merawat teman yang sakit atau cidera dalam pendakian.

Terkadang kita membawa bekal yang “mewah” , makanan import, sosis, jeruk mandarin, kentucky, French Fries, celana bermerk dari Perancis, daypack bergambar Doraemon agar dikira buatan Jepang, sepatu gunung dengan harga enam digit dsb. Terkadang pula kita membawa tas ransel buatan pasar yang isinya sarung, nasi yang agak basi, sandal japit lokal harga empat ribuan, tenda bekas Pramuka yang sudah kumal, dsb.

Di gunung kita hanyalah penumpang, numpang lewat, numpang tidur, numpang buang air. Sering terjadi hal – hal di luar akal sehat dan logika ketika kita tidak mengindahkan “tata krama” di gunung. Disadari atau tidak, percaya atau tidak, hukum sebab akibat, berlaku sebagaimana kehidupan sehari – hari. Bagaimana kita menempatkan diri di gunung, terhadap penduduk setempat, terhadap pepohonan, sungai, satwa, dan sebagainya merupakan gambaran bagaimana kita hidup sehari – hari. Bagaimana perilaku seseorang di gunung adalah perilaku sesungguhnya dia di kehidupan sehari – harinya.