Sabtu, 06 Agustus 2016

PETIK LAUT, LESTARIKAN TRADISI LELUHUR


Sebuah perahu kecil, yang oleh masyarakat nelayan disebut "Gitik" dengan panjang kurang lebih 4 meter, diletakkan di depan tempat akan dibukanya tradisi adat petik laut masyarakat nelayang Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Pesanggaran Kab. Banyuwangi.

Perahu kecil tersebut dihiasi bendera kecil warna-warni, sedangkan di dalamnya berisi sesai dan berbagai hasil yang nantinya akan disematkan pancing dan peniti emas.

Ketua panitia tradisi petik laut Pancer dalam sambutannya menyampaikan, tujuan dari tradisi adat petik laut yang diadakan rutin setiah tahun adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Tuhan yang telah memberi limpahan rejeki yang berupa tangkapan ikan yang melimpah. Selain itu juga sebagai media permohoan, agar dalam melakukan aktifitas ditengah laut mendapatkan perlindungan dan keselamatan dari Yang Maha Pencipta.

Ribuan warga berdiri di sepanjang jalan mengamati perjalanan sesaji ( ider bumi ). Begitu lewat, warga berhamburan mengikuti di belakang menuju pantai. Arak-arakan berakhir di tempat pelelangan ikan ( TPI ), yang dihadiri jajaran Muspida Banyuwangi dan pejabat setempat.

Sesaji tiba disambut enam penari Gandrung. Setelah doa, sesaji diarak menuju perahu. Warga berebut untuk bisa naik perahu pengangkut sesaji. Namun, petugas membatasi penumpang yang ikut ke tengah.
Menjelang tengah hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bunyi mesin diesel menderu membelah ombak. Suara gemuruh lewat sound-system menggema di tiap perahu.

Dari kejauhan barisan perahu berukuran besar bergerak kencang. Hiasan umbul-umbul berkibar menambah suasana makin sakral. Begitu padatnya perahu yang bergerak, sempat terjadi beberapa kali tabrakan kecil.

Iring-iringan berakhir di sebuah lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Kawasan ini sering disebut Plawangan. Seluruh perahu berhenti sejenak. Dipimpin sesepuh nelayan, sesaji pelan-pelan diturunkan dari perahu. Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh dan tenggelam ditelan ombak.

Begitu sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. "Kami percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut nanti," kata Mat Roji, sesepuh nelayan Muncar.

Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan. Di tempat ini, nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya. Hanya, jumlahnya lebih sedikit. Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan. Konon ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.

Selesai larung sesaji, pesta nelayan dilanjutkan di pantai  Sembulungan. , ke Makam Sayid Yusuf, beliau adalah orang pertama yang membuka daerah tersebut. Disinilah biasanya tari Gandrung dan gending-gending klasik suku Using di pentaskan, hingga sore hari. Di tempat ini para nelayan juga mempersembahkan sesaji. Ritual diakhiri selamatan dan doa bersama.

Ritual petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan. Konon, ini berkaitan ritual petik laut pertama kali di Tanjung Sembulungan. Kala itu, seorang penari Gandrung mendadak meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai. Sejak itu, petik laut wajib menghadirkan penari Gandrung. Memilih penari Gandrung yang berani ikut ke tengah laut dan mendampingi sesaji tidak gampang dan melalui seleksi khusus. Gandrung yang ikut mengarak sesaji hanya boleh sekali diundang. Tahun berikutnya akan diganti Gandrung lain.

Di sepanjang perjalanan, di atas perahu penari terus melenggang diiringi gamelan. Mereka melantunkan gending-gending Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan petik laut. Puluhan nelayan yang mengiringi gandrung ikut menari di atas perahu.
Biasanya sepulang pulang dari sembulungan perahu nelayan yang akan mendarat di guyur dengan air laut yang di gambarkan sebagai guyuran Shang Hyang Iwak, sebagai Dewi laut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar