Sabtu, 06 Agustus 2016

ZONA SEORANG PETUALANG


Seperti hobi atau olah raga lain, bertualang ke alam bebas adalah pilihan. Ketertarikan terhadapnya atau keterlibatan di dalamnya merupakan  sebuah subjektifitas yang sangat personal. Kita tentu tidak bisa memaksa seseorang untuk menyukai atau tidak menyukai petualangan, seperti kita tidak bisa memaksa seseorang untuk menyukai atau tidak menyukai seporsi makanan di restauran. Tapi, sesimpel itukah masalahnya?
Oleh banyak orang, korelasi antara manfaat nyata dengan resiko dari kegiatan ini kerap dianggap tidak berbanding lurus. Pilihan seseorang untuk pergi bertualang ke alam bebas seperti tebing, gunung, gua bawah tanah, sungai, laut atau angkasa, seringkali mendapat penentangan bahkan “vonis mati” dari orang-orang di sekitarnya.

Dari beberapa diskusi berkepanjangan yang terjadi dalam hal ini, saya dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya bukan faktor potensi bahaya yang paling “mengganggu” bagi masyarakat awam, melainkan lebih kepada tidak adanya “imbalan langsung” yang dapat diperoleh dari setiap kegiatan ini. Petualangan dianggap bukan sebuah industri olah raga laiknya sepak bola yang notabene dapat menghasilkan duit banyak. Sebaliknya, para pelakunya justru harus mengeluarkan uang banyak untuk melakukan kegiatannya.

Selain itu, faktor “investasi jangka panjang” juga menjadi alasan lain timbulnya kontra versi pendapat. Tidak seperti kursus computer atau bahasa inggris yang punya saluran bagus ke muara profesi di kantoran, petualangan dianggap sebagai “kursus”yang buang-buang uang dan waktu berharga saja. Jadi, semacam investasi yang tidak lolos criteria dalam studi kelayakan bisnis. Setelah merayap di tebing lalu mau kemana? Setelah mengarungi jeram di sungai, lantas mau menjadi apa?

Dua alasan di atas ternyata cukup efektif membunuh minat seseorang yang mulai tertarik atau bahkan telah masuk ke dunia petualangan.

Kendati begitu, kegiatan petualangan di alam bebas justru semakin menjamur di Nusantara. Sebut saja ekspedisi Seven Summits, ekspedisi Leuser, dan masih banyak lagi. Lantas, apa yang mendorong para petualang menggeluti dunia ini, hingga mereka cuek saja terhadap pandangan orang-orang awam? mungkin hobi berpetualang itu pada awalnya berasal dari rasa iseng belaka, ikut-ikutan dan sekedar pemuas rasa ingin tahu mereka. Namun apapun awal perkenalan dengan dunia petualang, yang jelas sebagian besar dari mereka langsung ketagihan. seperti seolah-olah alam bebas adalah magnet yang terus menarik mereka untuk berpetualang kembali.

Pada mulanya mereka memang mendapat kepuasan setelah menjawab tantangan dan menikmati panorama alam bebas. Tetapi dari pengalaman inilah nantinya secara perlahan lahan mereka mendapat sesuatu yang lebih. Bukan lagi sekedar kepuasan mencapai puncak ketinggian. Melainkan sifat-sifat positif yang secara perlahan akan terbentuk.

Sifat-sifat tersebut misalnya, berani mengambil keputusan. Dalam situasi yang kritis, dalam sebuah rombongan, apalagi kita bertindak sebagai ketua rombongan maka harus sepatutnya kita dituntut untuk secepat mungkin mengambil keputusan. Dan yang pasti keputusan tersebut tidak membahayakan rombongan anggota.

Perselisihan bukanlah barang asing dalam dunia petualangan. Yang muncul akibat kondisi mental dan phisik yang sudah letih, sehingga kita mudah sekali tersinggung. Tapi karena kondisi alam bebas yang menuntut kerjasama, para petualang tidak bisa mengumbar emosinya begitu saja. Sedikit demi sedikit emosi pun dapat dikendalikan, sehingga tidak tertutup kemungkinan perselisihan terlupakan.
Begitu juga dengan sifat cermat membuat perhitungan dan tidak mudah mengeluh. Kondisi alam bebas yang sulit diduga menuntut persiapan dan perhitungan yang matang, kalaupun ada yang meleset harus kita hadapi dengan pikiran dingin dan lapang dada tanpa saling menyalahkan. Di tengah hutan kita akan mengeluh kepada siapa, toh yang kita keluhi pun dalam kondisi yang sama, malah – malah keluhan kita bisa mengendorkan mentalitas rekan lainnya.


Dalam melakukan aktivitas ini kita dituntut untuk selalu jujur, misal suatu ketika kita melakukan pendakian seorang diri dan tidak mencapai puncak. Bisa saja kita bilang sampai dipuncak, toh tak ada saksi yang akan menyanggahnya, disinilah kita harus jujur, karena pengalaman yang terjadi mungkin berguna bagi teman – teman yang lain. Bila kita sudah mencapai tahap ini, puncak bukan lagi menjadi sasaran utama. Begitu pula dengan kebanggaan yang dulu sampai – sampai bisa menyesakkan dada karena berhasil menaklukkan sebuah puncak, perlahan akan hilang. Karena yang lebih esensi dalam tahap ini adalah bagaimana kita mendapatkan tantangan baru dan bagaimana memecahkannya.

Juga mengurangi nafsu merusak seperti corat – coret, memetik Edelweis dan membuang sampah sembarangan sudah lama mereka tinggalkan. Karena motto “Jangan ambil sesuatu kecuali photo dan jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak“ sudah melekat pada diri mereka. Tetapi semua ini adalah proses yang harus dilalui oleh semua orang untuk menjadi pecinta alam sejati.
Untuk menjadi seorang petualang yang baik kita harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang cukup, peralatan dan perbekalan yang memadai, mental dan phisik yang baik serta daya juang yang tinggi. Tanpa itu jangan harap kita bisa selamat dalam melaksanakan aktivitas petualangan, sedangkan mereka yang telah cukup memiliki segala sesuatunya pun terkadang tidak luput dari resiko berat aktivitas outdoor sport ini.

Semua aktivitas yang dilakukan manusia mempunyai resiko, begitu pula dengan aktivitas petualangan di alam bebas. Ibaratkan seorang pelaut yang harus meninggalkan keluarganya berbulan – bulan, itu adalah resiko dari profesi keahlian yang digelutinya.

Filosofi Pendakian Gunung adalah gambaran nyata bagi para pecinta pendakian gunung tentang hal – hal dalam diri yang sering mengatasnamakan para petualang. Pada masa kini, mendaki gunung adalah kegiatan yang bisa dilakukan secara acak hanya untuk mengisi waktu luang ataupun hanya sekedar ingin disebut Pecinta Alam. Dan disinilah Filosofi Pendakian Gunung terbentuk.

Jika kau ingin tahu lebih jelas mengenai sifat asli orang – orang dekatmu atau sifat asli dirimu sendiri, ajaklah mendaki gunung. Di atas sana, kau akan menemukan bahwa kau tidak bisa menyembunyikan karakter aslimu. Kau akan menjadi dirimu sendiri, sepenuhnya.
Jika egois, maka di atas sana kau akan egois. Jika penakut, maka di atas sana kau pun akan banyak diam. Jika kau pengeluh, maka kau tidak akan berhenti mengeluh sepanjang perjalanan. Dari situlah kita akan semakin tahu kekurangan dan kelebihan diri masing – masing, dan kemudian kita bisa saling introspeksi diri.

Benar sekali, mendaki gunung tak jauh berbeda dengan kehidupan. Terkadang kita melewati tanjakan yang terjal, hingga kita hampir menyerah, terkadang juga kita menyusuri jalanan di tepi jurang, harus hati – hati melangkah karena jika tidak, kita bisa terpeleset. Ketika terpeleset mampukah kita melanjutkan perjalanan, atau memilih mundur dan turun untuk selanjutnya pulang?
Terkadang melewati turunan yang curam, terkadang hanya padang ilalang datar ratusan meter. Terkadang harus berhenti untuk melepas lelah setelah perjalanan panjang.
Seperti halnya hidup, ketika menempuh perjalanan kita banyak mengeluh karena lelah atau menikmati saja pemandangan sekitar. Itu adalah pilihan. Dengan jalur yang sama, beban yang sama, sikap pendaki satu dengan yang lain tentu akan berbeda. Beratnya beban di punggung adalah bekal kita. Tidak murah memang segala bekal kita namun sangat sepadan dengan apa yang akan kita nikmati selama mendaki gunung.

Sesekali kita membutuhkan orang lain untuk berpegangan ketika melewati titian. Terkadang kita harus mempercayakan nyawa kita kepada teman kita ketika kita perlu memanjat bagian gunung berupa tebing yang curam. Sesekali kita membutuhkan teman kita untuk memasang tenda. Sesekali kita membantu merawat teman yang sakit atau cidera dalam pendakian.

Terkadang kita membawa bekal yang “mewah” , makanan import, sosis, jeruk mandarin, kentucky, French Fries, celana bermerk dari Perancis, daypack bergambar Doraemon agar dikira buatan Jepang, sepatu gunung dengan harga enam digit dsb. Terkadang pula kita membawa tas ransel buatan pasar yang isinya sarung, nasi yang agak basi, sandal japit lokal harga empat ribuan, tenda bekas Pramuka yang sudah kumal, dsb.

Di gunung kita hanyalah penumpang, numpang lewat, numpang tidur, numpang buang air. Sering terjadi hal – hal di luar akal sehat dan logika ketika kita tidak mengindahkan “tata krama” di gunung. Disadari atau tidak, percaya atau tidak, hukum sebab akibat, berlaku sebagaimana kehidupan sehari – hari. Bagaimana kita menempatkan diri di gunung, terhadap penduduk setempat, terhadap pepohonan, sungai, satwa, dan sebagainya merupakan gambaran bagaimana kita hidup sehari – hari. Bagaimana perilaku seseorang di gunung adalah perilaku sesungguhnya dia di kehidupan sehari – harinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar