Masyarakat adat Cungking yang masih eksis di Bumi Prabu Minak Jinggo (Banyuwangi) sampai sekarang adalah masyarakat pribumi yang sangat menjunjung tinggi dan mempercayai kebesaran leluhurnya (Mbah Cungking). Hal inilah yang menjadikan mereka lebih senang disebut sebagai masyarakat Cungking. Mbah Cungking dikenal sebagai sosok yang mempunyai keistimewahan dan penuh dengan tirakat untuk mendapatkan kekuatan yang luar biasa. Mbah Cungking sudah dikenal menyerupai orang yang dekat dengan Tuhan atau seperti wali (islam) pada masa silam. Sehingga meskipun sang wali telah tiada namun penghargaan dari masyarakat tidak pudar termakan zaman.
Bentuk rasa hormat dan penghargaan masyarakat Cungking kepada sang wali digambarkan pada setiap bulan Syura atau Muharam yaitu dengan selamatan. Acara ritual ini sudah menjadi rutinitas tahunan masyarakat adat Cungking sejak dulu. Dapat dipastikan setiap awal bulan Syura akan diadakan acara ritual berupa Larung sesaji ke laut, Ruwatan, Selamatan dan terkadang Acara Wayang. Untuk acara wayang sangat jarang diadakan oleh masyarakat Cungking.
Baluran (Baluran berasal dari kata Mbah Lurah yang artinya sesepuh yang paling tua). Akhirnya para sesepuh yang mendapat wangsit itu sepakat akan mengadakan ruwatan dalam bentuk wayang ringgit di Baluran. Tidak hanya sesepuh dari masyarakat Cungking khususnya Bakungan saja yang mendapat wangsit seperti itu, ternyata para pelaku kebatinan di luar Banyuwangi pun mendapatkannya. Pelaksanaan ruwatan tersebut harus dilakukan pada malam tahun baru. Sehingga tidak heran jika pada acara ini dihadiri puluhan orang-orang ahli kebatinan dari luar kota seperti Malang, Kediri, Blitar, Tulungagung, Sidoarjo dan Jakarta.
Acara ruwatan sendiri pada dasarnya bertujuan untuk memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar dibebaskan dari segala macam bencana yang akan menimpa dan gangguan makhluk ghaib. Sehingga mereka berharapa mendapatkan keselamatan dan dapat hidup damai sejahtera. Ruwatan pada kali ini dilakukan dengan menggelar wayang ringgit yang mengambil cerita "Tibaning Wahyu Gusti" atau yang artinya turunnya wahyu atau petunjuk dari Yang Maha Kuasa kepada umat manusia agar lebih ramah dan santun terhadap alam ini.
Dua kekuatan yang mustahil lepas atau dilepaskan dari kehidupan manusia di bumi. Dan sudah sewaktunya kedua kekuatan besar itu bersatu untuk kesejahteraan dan kedamaian manusia di bumi. Setiap detik sepertinya tak rela penonton tinggalkan cerita itu, alur cerita yang diangkat semakin lama semakin seru. tampaknya masyarakat sekitar yang menonton benar-benar puas dengan isi cerita wayang tersebut. Mereka akan paham bahwa betapa pentingnya kepedulian manusia kepada alam sekitar. Kita manusia hidup berdampingan dengan alam, maka sudah sepatutnya bila harus menjaga dengan sebaik-baiknya alam sekitar. Harapan kita kepada Yang Maha Kuasa adalah kita bisa hidup damai, sejahtera, makmur di muka bumi ini dan terhindar dari segala macam banana dan musibah.
Seperti itulah kisah masyarakat Cungking dan acara adat ruwatan Wayang Ringgit. Banyak hikmah dan pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan ini. Setiap leluhur kita adalah orang-orang bijak yang banyak menyimpan ilmu dan nilai-nilai kehidupan. Maka kita harus benar-benar meghormati dan menjunjung tinggi nilai kebaiakn yang mereka tanamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar